nadya
Lorong itu sepi
Tak ada yang memilih tuk melintas
karena didalamnya ada tangis, marah, dan keputus asaan
tapi aku...
Memilih lorong itu
Agar tak ada yang melintas bersamaku
agar aku ...
terukir , tak tertandingi dalam sapaanmu
Lorong itu ada dalam hatimu
Lorong itu bernama kebencian
Biarkan yang lain memilih lorong cintamu
dengan berjuta kata godaan
Rasaku tak serendah mereka
Hadir dengan sapaan yang tanpa sadar
merendahkanmu
Biarkan aku memilih kebencianmu
Biar hanya aku dan kamu yang merasakannya
Biar hanya aku yang mengertimu
Dari sudut lain dirimu....
Cappo.......June 2009
jejak langkah mengayun mengukir, desahan nafas letih berbisik, terangkum dalam "journad"... anggap aja semuanya omong kosong atau insomnia tanpa makna.....
Minggu, 07 Juni 2009
Selasa, 24 Februari 2009
Sekolah Rakyat (pendidikan alternatif) UPPM UMI Makassar
"indah, kamu kelas berapa?. tanyaku"saya kelas satu sekolah UPPM". jawab Indah dengan lugu.indah adalah salah satu "murid"sekolah rakyat, pendidikan alternatif yang kami bentuk bersama kawan-kawan di UKM Penerbitan Mahasiswa Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar.peserta didik kami adalah payabo (baca: pemulung dalam bahsa Makassar) dan penjual Jalang Kote (makanan tradisional makassar) yang menjajakan jualan mereka di kampus UMI Makassar.
sang kepala sekolah
ektra kulikuler ala sekolah UPPM

"capek belajar terus, main bola yuk......!". teriak Andi tanpa memperdulikanku yang masih menjelaskan di depan "kelas". mungkin kondisi lingkungan mereka sehari-hari yang keras membuat mereka tidak peduli "perasaan orang lain". sepak bola dan karate yang dilaksanakan dengan menitip "murid-murid" kepada UKM. namun yang paling parah ketika tawuran antara Payabo (pemulung) versus penjual jalang kote. kami sering menjadi sasaran lemparan batu saat melerai tawuran mereka. "ini adalah dosa negara" ungkap Basri, salah seorang guru sekolah rakyat.
jelang pembalasan dendam....!
aku ingin dapat ijazah kak......!
peserta "didik" sementara serius mengikuti pelajaran, dengan harapan setelah tamat" disekolah Rakyat" mereka akan mendapatkan ijazah sebagai modal melamar pekerjaan sebagai buruh anak di toko-toko besar yang ada di Makasar. mereka tidak sadar kalau kami tidak mampu menyediakan ijazah untuk mereka....
"Bermimpilah, karena tuhan akan memeluk setiap mimpi kita". Andrea Hirata
Indah dan adiknya

mereka hidup bersama neneknya, ayahnya bekerja di Malaysia sebagai TKI ilegal, ibunya harus mendekam dipenjara Makassar karena tuduhan pengedar Narkoba. sehari-harinya menjadi Payabo (Pemulung) di Kota Makassar. mereka sering masuk kampus UMI Makasar untuk mencari gelas bekas air minum mineral untuk mereka jual. indah dan adiknya adalah murid paling kecil di sekolah rakyat UPPM UMI.
Rabu, 18 Februari 2009
AFFIRMATIVE ACTION

Oleh: Nur Nahdiyah
Staf Auditor STAIN Pare-Pare
Di banyak tempat, kampus, warung kopi, dan tempat nongkrong aktivis lainnya marak dibicarakan tentang putusan baru Mahkama Konstitusi (MK) tentang penentuan caleg terpilih sesuai dengan suara terbanyak seperti yang di bahas kawan Irsyadi dalam tulisan bagian lain, serta penentuan kuota 30 persen dan system zipper (satu perempuan di setiap tiga caleg).
Namun banyak diantara orang-orang yang membicarakan tentang persoalan tersebut tidak memahami betul hakekat system yang diberlakukan MK tersebut. Tentang penentuan 30 persen kuota bagi perempuan dianggap sebagai diskriminasi, bahkan yang lebih ekstrim lagi menganggap sebagai sebuah konsep yang justru tidak menghargai perempuan dengan pembatasan 30 persen. Sungguh analisis yang dangkal (maaf).
Konsep tersebut diatas dalam bahasa konstitusi disebut affirmative action (diskriminasi positif). Kasus tersebut menjelaskan bahwa MK telah menegaskan bahwa konsep konstitusional affirmative action (diskriminasi positif).MK berpendapat bahwa penentuan adanya kuota 30 persen bagi calon perempuan dan satu calon perempuan dari setiap tiga calon anggota lagislatif tidak bertentangan dengan konstitusi karena perlakuan hak-hak konstitusinal jender untuk tidak dikualifikasi diskriminatif tersebut, dimaknai untuk meletakkan secara adil hal yang selama ini ternyata memperlakukan kaum perempuan secara tidak adil (halaman 99).
Pemahaman sebagian orang yang menganggap konsep tersebut justru sebagai bentuk penghinaan terhadap perempuan yang dianggap tidak mampu sehingga harus diahadiahkan dengan kuota, serta bentuk diskrimanisi dan bertentangan dengan demokrasi karena harus ada batasan jumlah (“Jatah-jatahan”).
Justru menurut hemat penulis, Penentuan kuota 30 persen bagi perempuan merupakan penghargaan dan perlindungan dari hegemoni kultur “laki-laki” yang selama ini berlangsung. Kuota 30 persen dimaksudkan untuk memberikan kesempatan bagi perempuan yang luas untuk berjuang guna mendudukkan wakil kaumnya diparlemen. Sementara system zipper (satu perempuan di setiap tiga caleg) juga merupakan kesempatan yang diberikan konstitusi kepada kaum perempuan untuk memiliki wakil diparlemen.
Kemudian bila dikaitkan dengan putusan Mahkama Konstitusi yang baru (baca tulisan Irsyadi “Moralitas Konstitusi), banyak kalangan yang menganggap sebagai konsep yang mubazir. Meski dari sisi yang lain, justru inilah momentum bagi perjuangan keterwakilan perempuam diparlemen untuk bergeser dari paradigma kuantitas (angka-angka) menjadi paradigma kualitas (mutu dan kapasitas).(Denny Indrayana, Kompas 6 Januari 2008).
Selama ini perjuangan perempuan sudah dimulai bahkan di Indonesia sudah dikenal sejak perjuangan melawan penjajahan Belanda. Sementara dalam perjuangan konstitusional, perjuangan kuantitas sudah dilakukan melalui kuota 30 persen dan system zipper, bila dikaitkan dengan putusan MK tersebut, yakni penentuan caleg berdasarkan suara terbanyak adalah tantangan untuk tetap menghadirkan anggota parlemen perempuan yang memang berkualitas dan merupakan suara hati rakyat khusunya kaum perempuan. Maka benar kata Denny yang tetap optimis akan terwujudnya kesuksesan ganda perjuangan dengan kerja keras dan ketekunan caleg
perempuan. Sudah saatnya bagi para aktivis yang memperjuangkan keterwakilan perempuan di parlemen untuk melakukan pendidikan politik rakyat, utamanya kepada pemilih perempuan yang berkualitas di DPR dan DPRD.
Staf Auditor STAIN Pare-Pare
Di banyak tempat, kampus, warung kopi, dan tempat nongkrong aktivis lainnya marak dibicarakan tentang putusan baru Mahkama Konstitusi (MK) tentang penentuan caleg terpilih sesuai dengan suara terbanyak seperti yang di bahas kawan Irsyadi dalam tulisan bagian lain, serta penentuan kuota 30 persen dan system zipper (satu perempuan di setiap tiga caleg).
Namun banyak diantara orang-orang yang membicarakan tentang persoalan tersebut tidak memahami betul hakekat system yang diberlakukan MK tersebut. Tentang penentuan 30 persen kuota bagi perempuan dianggap sebagai diskriminasi, bahkan yang lebih ekstrim lagi menganggap sebagai sebuah konsep yang justru tidak menghargai perempuan dengan pembatasan 30 persen. Sungguh analisis yang dangkal (maaf).
Konsep tersebut diatas dalam bahasa konstitusi disebut affirmative action (diskriminasi positif). Kasus tersebut menjelaskan bahwa MK telah menegaskan bahwa konsep konstitusional affirmative action (diskriminasi positif).MK berpendapat bahwa penentuan adanya kuota 30 persen bagi calon perempuan dan satu calon perempuan dari setiap tiga calon anggota lagislatif tidak bertentangan dengan konstitusi karena perlakuan hak-hak konstitusinal jender untuk tidak dikualifikasi diskriminatif tersebut, dimaknai untuk meletakkan secara adil hal yang selama ini ternyata memperlakukan kaum perempuan secara tidak adil (halaman 99).
Pemahaman sebagian orang yang menganggap konsep tersebut justru sebagai bentuk penghinaan terhadap perempuan yang dianggap tidak mampu sehingga harus diahadiahkan dengan kuota, serta bentuk diskrimanisi dan bertentangan dengan demokrasi karena harus ada batasan jumlah (“Jatah-jatahan”).
Justru menurut hemat penulis, Penentuan kuota 30 persen bagi perempuan merupakan penghargaan dan perlindungan dari hegemoni kultur “laki-laki” yang selama ini berlangsung. Kuota 30 persen dimaksudkan untuk memberikan kesempatan bagi perempuan yang luas untuk berjuang guna mendudukkan wakil kaumnya diparlemen. Sementara system zipper (satu perempuan di setiap tiga caleg) juga merupakan kesempatan yang diberikan konstitusi kepada kaum perempuan untuk memiliki wakil diparlemen.
Kemudian bila dikaitkan dengan putusan Mahkama Konstitusi yang baru (baca tulisan Irsyadi “Moralitas Konstitusi), banyak kalangan yang menganggap sebagai konsep yang mubazir. Meski dari sisi yang lain, justru inilah momentum bagi perjuangan keterwakilan perempuam diparlemen untuk bergeser dari paradigma kuantitas (angka-angka) menjadi paradigma kualitas (mutu dan kapasitas).(Denny Indrayana, Kompas 6 Januari 2008).
Selama ini perjuangan perempuan sudah dimulai bahkan di Indonesia sudah dikenal sejak perjuangan melawan penjajahan Belanda. Sementara dalam perjuangan konstitusional, perjuangan kuantitas sudah dilakukan melalui kuota 30 persen dan system zipper, bila dikaitkan dengan putusan MK tersebut, yakni penentuan caleg berdasarkan suara terbanyak adalah tantangan untuk tetap menghadirkan anggota parlemen perempuan yang memang berkualitas dan merupakan suara hati rakyat khusunya kaum perempuan. Maka benar kata Denny yang tetap optimis akan terwujudnya kesuksesan ganda perjuangan dengan kerja keras dan ketekunan caleg
perempuan. Sudah saatnya bagi para aktivis yang memperjuangkan keterwakilan perempuan di parlemen untuk melakukan pendidikan politik rakyat, utamanya kepada pemilih perempuan yang berkualitas di DPR dan DPRD.
Langganan:
Postingan (Atom)