
Oleh: Nur Nahdiyah
Staf Auditor STAIN Pare-Pare
Di banyak tempat, kampus, warung kopi, dan tempat nongkrong aktivis lainnya marak dibicarakan tentang putusan baru Mahkama Konstitusi (MK) tentang penentuan caleg terpilih sesuai dengan suara terbanyak seperti yang di bahas kawan Irsyadi dalam tulisan bagian lain, serta penentuan kuota 30 persen dan system zipper (satu perempuan di setiap tiga caleg).
Namun banyak diantara orang-orang yang membicarakan tentang persoalan tersebut tidak memahami betul hakekat system yang diberlakukan MK tersebut. Tentang penentuan 30 persen kuota bagi perempuan dianggap sebagai diskriminasi, bahkan yang lebih ekstrim lagi menganggap sebagai sebuah konsep yang justru tidak menghargai perempuan dengan pembatasan 30 persen. Sungguh analisis yang dangkal (maaf).
Konsep tersebut diatas dalam bahasa konstitusi disebut affirmative action (diskriminasi positif). Kasus tersebut menjelaskan bahwa MK telah menegaskan bahwa konsep konstitusional affirmative action (diskriminasi positif).MK berpendapat bahwa penentuan adanya kuota 30 persen bagi calon perempuan dan satu calon perempuan dari setiap tiga calon anggota lagislatif tidak bertentangan dengan konstitusi karena perlakuan hak-hak konstitusinal jender untuk tidak dikualifikasi diskriminatif tersebut, dimaknai untuk meletakkan secara adil hal yang selama ini ternyata memperlakukan kaum perempuan secara tidak adil (halaman 99).
Pemahaman sebagian orang yang menganggap konsep tersebut justru sebagai bentuk penghinaan terhadap perempuan yang dianggap tidak mampu sehingga harus diahadiahkan dengan kuota, serta bentuk diskrimanisi dan bertentangan dengan demokrasi karena harus ada batasan jumlah (“Jatah-jatahan”).
Justru menurut hemat penulis, Penentuan kuota 30 persen bagi perempuan merupakan penghargaan dan perlindungan dari hegemoni kultur “laki-laki” yang selama ini berlangsung. Kuota 30 persen dimaksudkan untuk memberikan kesempatan bagi perempuan yang luas untuk berjuang guna mendudukkan wakil kaumnya diparlemen. Sementara system zipper (satu perempuan di setiap tiga caleg) juga merupakan kesempatan yang diberikan konstitusi kepada kaum perempuan untuk memiliki wakil diparlemen.
Kemudian bila dikaitkan dengan putusan Mahkama Konstitusi yang baru (baca tulisan Irsyadi “Moralitas Konstitusi), banyak kalangan yang menganggap sebagai konsep yang mubazir. Meski dari sisi yang lain, justru inilah momentum bagi perjuangan keterwakilan perempuam diparlemen untuk bergeser dari paradigma kuantitas (angka-angka) menjadi paradigma kualitas (mutu dan kapasitas).(Denny Indrayana, Kompas 6 Januari 2008).
Selama ini perjuangan perempuan sudah dimulai bahkan di Indonesia sudah dikenal sejak perjuangan melawan penjajahan Belanda. Sementara dalam perjuangan konstitusional, perjuangan kuantitas sudah dilakukan melalui kuota 30 persen dan system zipper, bila dikaitkan dengan putusan MK tersebut, yakni penentuan caleg berdasarkan suara terbanyak adalah tantangan untuk tetap menghadirkan anggota parlemen perempuan yang memang berkualitas dan merupakan suara hati rakyat khusunya kaum perempuan. Maka benar kata Denny yang tetap optimis akan terwujudnya kesuksesan ganda perjuangan dengan kerja keras dan ketekunan caleg
perempuan. Sudah saatnya bagi para aktivis yang memperjuangkan keterwakilan perempuan di parlemen untuk melakukan pendidikan politik rakyat, utamanya kepada pemilih perempuan yang berkualitas di DPR dan DPRD.
Staf Auditor STAIN Pare-Pare
Di banyak tempat, kampus, warung kopi, dan tempat nongkrong aktivis lainnya marak dibicarakan tentang putusan baru Mahkama Konstitusi (MK) tentang penentuan caleg terpilih sesuai dengan suara terbanyak seperti yang di bahas kawan Irsyadi dalam tulisan bagian lain, serta penentuan kuota 30 persen dan system zipper (satu perempuan di setiap tiga caleg).
Namun banyak diantara orang-orang yang membicarakan tentang persoalan tersebut tidak memahami betul hakekat system yang diberlakukan MK tersebut. Tentang penentuan 30 persen kuota bagi perempuan dianggap sebagai diskriminasi, bahkan yang lebih ekstrim lagi menganggap sebagai sebuah konsep yang justru tidak menghargai perempuan dengan pembatasan 30 persen. Sungguh analisis yang dangkal (maaf).
Konsep tersebut diatas dalam bahasa konstitusi disebut affirmative action (diskriminasi positif). Kasus tersebut menjelaskan bahwa MK telah menegaskan bahwa konsep konstitusional affirmative action (diskriminasi positif).MK berpendapat bahwa penentuan adanya kuota 30 persen bagi calon perempuan dan satu calon perempuan dari setiap tiga calon anggota lagislatif tidak bertentangan dengan konstitusi karena perlakuan hak-hak konstitusinal jender untuk tidak dikualifikasi diskriminatif tersebut, dimaknai untuk meletakkan secara adil hal yang selama ini ternyata memperlakukan kaum perempuan secara tidak adil (halaman 99).
Pemahaman sebagian orang yang menganggap konsep tersebut justru sebagai bentuk penghinaan terhadap perempuan yang dianggap tidak mampu sehingga harus diahadiahkan dengan kuota, serta bentuk diskrimanisi dan bertentangan dengan demokrasi karena harus ada batasan jumlah (“Jatah-jatahan”).
Justru menurut hemat penulis, Penentuan kuota 30 persen bagi perempuan merupakan penghargaan dan perlindungan dari hegemoni kultur “laki-laki” yang selama ini berlangsung. Kuota 30 persen dimaksudkan untuk memberikan kesempatan bagi perempuan yang luas untuk berjuang guna mendudukkan wakil kaumnya diparlemen. Sementara system zipper (satu perempuan di setiap tiga caleg) juga merupakan kesempatan yang diberikan konstitusi kepada kaum perempuan untuk memiliki wakil diparlemen.
Kemudian bila dikaitkan dengan putusan Mahkama Konstitusi yang baru (baca tulisan Irsyadi “Moralitas Konstitusi), banyak kalangan yang menganggap sebagai konsep yang mubazir. Meski dari sisi yang lain, justru inilah momentum bagi perjuangan keterwakilan perempuam diparlemen untuk bergeser dari paradigma kuantitas (angka-angka) menjadi paradigma kualitas (mutu dan kapasitas).(Denny Indrayana, Kompas 6 Januari 2008).
Selama ini perjuangan perempuan sudah dimulai bahkan di Indonesia sudah dikenal sejak perjuangan melawan penjajahan Belanda. Sementara dalam perjuangan konstitusional, perjuangan kuantitas sudah dilakukan melalui kuota 30 persen dan system zipper, bila dikaitkan dengan putusan MK tersebut, yakni penentuan caleg berdasarkan suara terbanyak adalah tantangan untuk tetap menghadirkan anggota parlemen perempuan yang memang berkualitas dan merupakan suara hati rakyat khusunya kaum perempuan. Maka benar kata Denny yang tetap optimis akan terwujudnya kesuksesan ganda perjuangan dengan kerja keras dan ketekunan caleg
perempuan. Sudah saatnya bagi para aktivis yang memperjuangkan keterwakilan perempuan di parlemen untuk melakukan pendidikan politik rakyat, utamanya kepada pemilih perempuan yang berkualitas di DPR dan DPRD.